“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaanNya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizingNya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” QS Al-Maidah: 16)
Saat ini, kaum muslimin mulai bangkit dari tidur panjang yang membuat mereka lupa pada agamanya. Mereka memiliki keinginan untuk kembali bersandar pada agama ini. Semangat keislaman mereka pun tumbuh dan mulai bergelora seiring dengan perjuangan dakwah. Oleh sebab itu para dai, murabbi, maupun pemimpin cerdas yang memiliki cita-cita untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan umat ini, harus segera meraih tangan-tangan mereka dan membimbingnya ke jalan Islam.
Untuk itu, para dai dan murabbi harus memiliki pemahaman yang benar, perencanaan yang matang, pengetahuan yang memadai, dan aturan yang bijak untuk membentuk generasi yang militan.
Lalu, bagaimanakan caranya untuk memenuhi atau menyiapkan semua itu? Inilah yang dijawab oleh penulis, Prof Dr Taufik Yusuf Al-Wa’iy. Seluruhnya disampaikan dengan jelas dan praktis. Sehingga para dai, murabbi, maupun pemimpin cerdas yang memiliki cita-cita untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan umat, dapat mempraktikannya dalam amal-amal dakwah, terutama amal-amal pembinaan.
Sosok murabbi, tentu tidak hanya terbatas sebagai ‘tenaga pengajar’ saja, namun murabbi merupakan sosok orang tua, syaikh, kakak, teman, guru, pemimpin, teladan. Dari berbagai macam gelar yang disandang, tentu hal tersebut bukanlah satu hal yang mudah digapai, perlu perjuangan, penuh rintangan, dan senantiasa harus diiringi dengan kesabaran dan keihlasan.
Dua titik tekan pada pembahasan buku ‘Kekuatan Sang Murabbi’ karya Prof Dr Taufik Yusuf Al-Wa’iy ini, yaitu bagaimana murabbi dapat menumbuhkan kemampuan pribadinya pada sisi tarbawi dan dakwah. Selanjutnya bagaimana menumbuhkan kemampuan manajerial dan leadership murabbi tersebut. Semua ini tidak lepas dari latar belakang tarbiyah murabbi, pemahaman terhadap materi tarbiyah yang selama ini didapat, sosok murabbi yang dikenalnya, dan keterlibatannya dalam agenda-agenda dakwah.
Pembelajaran sebagai murabbi bukanlah pembelajaran sesaat, karena murabbi adalah sosok pembina yang dilihat keteladanannya. Butuh waktu untuk dapat mengasah diri menjadi seorang murabbi yang memiliki ‘kekuatan’ itu. Kekuatan menggagas dan mengadakan perubahan, bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.
Posisi murabbi sebagai qudwah hasanah, memiliki 3 dasar keteladanan, berupa kebaikan yang bersumber dari keimanan ibadah dan keikhlasan, akhlak yang baik, serta kesesuaian antara kata dan perbuatan. Keteladanan menjadi salah satu faktor terpenting dan berperan besar dalam mempengaruhi proses penyampaian dakwah. Murabbi merupakan dai, penyeru kebaikan, wajah Islam yang tampak di hadapan manusia dan makhluk.
Murabbi juga bertanggung jawab dalam mensukseskan tujuan pembinaan, serta realisasi rukun-rukunnya, dengan mengetahui terlebih dahulu definisi dan karakteristik halaqah (usrah) itu sendiri. Murabbi punya kewajibaan untuk memahami fungsi serta manfaat usrah dari berbagai macam sisi. Halaqah (usrah) bukan terbatas pada pertemuan rutin mingguan saja, oleh karenanya murabbi harus dapat menjadikan suasana usrah nyaman bagi seluruh anggotanya, dengan tetap memperhatikan risalah usrah serta berbagai fungsi yang berlaku.
Menumbuhkan intelektualitas iman, pergerakan, dan sosial mutarabbi (binaan) juga merupakan salah satu hal yang diamanahkan bagi murabbi. Tentunya dengan keterbatasan ilmu yang dimiliki, ini bukanlah hal yang mudah untuk diaplikasikan. Karena memang menjadi murabbi adalah kesempatan untuk belajar dan mengetahui lebih banyak ilmu. Setiap manusia pasti memiliki potensi intelektualitas yang berbeda, untuk itu menjadi tanggung jawab murabbilah mereka dapat mengetahui kadar potensi intelektualitasnya dan begitupula dalam memotivasi pengembangannya.
Murabbi juga memiliki kewajiban untuk mendidik mutarabbinya agar komitmen terhadap rukun-rukun jamaah. Murabbi memahami terlebih dulu rukun-rukun jamaah agar dapat mengaplikasikannya dan mendidik saudara-saudaranya sesuai dengan manhaj tarbiyah Islamiyah. Murabbi dapat memanfaatkan sarana-sarana tarbiyah yang ada dan mengoptimalkannya untuk aplikasi rukun-rukun jamaah.
Dua pembahasan selanjutnya merupakan penekanan terhadap komitmen murabbi, terhadap aturan-aturan gerakan dan komitmen pribadi serta pengontrolan aktivitas agar sesuai dengan syariat. Dan terakhir adalah bagaimana murabbi mampu menjadi sosok yang dapat mengkonsolidasikan dimensi sosial masyarakat dan menyiapkan lingkungan yang baik sebagai ruang pendidikan anak.
Semua pembahasan diatas merupakan dasar kemampuan murabbi pada sisi tarbawi dan dakwah, untuk pembahasan mengenai pengembangan kemampuan manajerial dan leadership murabbi ada enam hal yang dibahas di dalam buku ini.
Pembahasan pertama, bagaimana murabbi mampu melaksanakan instruksi dan kebijakan-kebijakan dakwah. Kerja yang sukses membutuhkan perencanaan, menyusun tujuan besar dan cara mencapainya. Kedua, bagaimana murabbi menghindari sifat otoriter, individualis serta bekerja berdasarkan syura (walaupun terkadang tidak sesuai dengan jalan fikiran pribadi masing-masing, dan tetap memperhatikan batasan-batasannya). Dan syura adalah menarik pendapat yang beragam dan berbeda-beda, lalu mengujinya untuk mendapatkan pemikiran yang lebih baik dan utama untuk dilaksanakan.
Ketiga, bagaimana murabbi mampu memahami setiap pribadi dan mengontrol aktivitas yang dilakukan. Kesuksesan seorang murobbi tidak ditentukan pada kemampuannya menguasai ruang halaqah atau usrahnya dan terpenuhinya segala kewajiban yang ia bebankan kepada mutarabbinya, tapi ia yang mampu berinteraksi dengan anggotanya sebagaimana mereka berinteraksi secara efektif serta membangun kerjasama positif bersama mereka.
Keempat, bagaimana murabbi percaya diri ketika menyampaikan materi. Kejujuran dalam perkataan dan sikap serta amanah dalam menyampaikan pesan akan membawa seorang dai percaya diri dalam meyampaikan materi. Kelima, bagaimana murabbi hadir secara teratur dengan sifat bijaksana dan menjauhkan diri dari senda gurau yang berlebihan.
Karena kesungguhan adalah bekal dasar dan akhlak yang harus dimiliki oleh setiap dai yang telah berjanji kepada Allah SWT bahwa mereka hidup untuk berakwah dijalanNya atau mati karenanya. Dan keenam, adalah bagaimana murabbi mampu menggali potensi, bakat, mengetahui, juga dapat memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi.
Kita tak dapat menyangkal bahwa keberhasilan mencapai posisi murabbi adalah sesuatu yang sangat istimewa dan prestisius. Tapi sebuah pertanyaan harus dijawab, ”Mampukah kita menunaikan peran tersebut dengan sukses dan mendapat hasil maksimal? Jika kita ingin mencapai itu maka harus mencari metode terbaik dalam melakukan proses tarbiyah, dan merelakan diri untuk mengerjakan tugas-tugas besar, karena pastinya kita senantiasa butuh menyelami sesuatu yang baru untuk merasakan sesuatu yang bernilai besar.
Proses tarbiyah akan terasa lebih mudah apabila kedua belah pihak, baik murabbi maupun mutarabbi memahami fungsi dan posisi masing-masing. Sungguh pekerjaan murabbi bukanlah pekerjaan yang ringan dan sesaat, butuh kemauan keras, pengorbanan, dan kesabaran. Karena dakwah memiliki karakteristik penuh dengan kendala dan kesulitan, buahnya tak akan mudah dipanen. Dengan ikhtiar dan tawakkal, semoga Allah SWT memberikan kekuatan serta kesabaran pada para penegak kebenaran. Wallahu’alam
Diringkas oleh: Pramana Asmadiredja
Dari buku: “KEKUATAN SANG MURABBI” karya: Prof Dr Taufik Yusuf Al-Wa’iy (Al I’tishom Cahaya Umat)
BERITA TERBARU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 comments:
Jadi inget ustadz Rahmat Abdullah...
Posting Komentar