Jakarta, 15 Januari 2005
Raras sahabat sejiwaku, aku merasa semakin letih saja. Tulang-tulangku serasa remuk, semakin membungkukkan tubuhku yang memang agak bungkuk ini. Dan kebungkukanku sekarang telah menjadi kebungkukan pangkat dua.
Bagiku,
ada secarik kertas dalam serentang jarak antara lahir dan mati
seseorang yang dibebaskan-Nya untuk ditulisi oleh manusia itu sendiri
dengan coretan macam apapun, entahkan itu dengan kebaikan atau
kejahatan, entahkah itu suci atau profan. Bahkan untuk menjadi
penghujat-Nya sekalipun, kita dibebaskan. Lagipula, akan ada waktunya
untuk menghakimi setiap manusia dan mempertanggung jawabkan apa yang
telah ditulisnya dalam bentang hidupnya itu. Setidaknya, itu yang aku
tahu setelah sekian lama aku mengenalmu dan agamamu.
Aku tetaplah aku dengan segala yang ada dalam diriku, baik itu kelebihan atau kekuranganku. Aku tetaplah aku, yang tidak diciptakan tidak serupa dengan siapapun, bahkan dalam hal seraut keriput di telapak kaki sekalipun. Aku tak hendak disamakan oleh siapapun atau menjadi epigon bagi siapapun. Walau mereka bilang kita sejiwa dalam raga yang berbeda.
Saat gugur matahari tadi sore, sehelai daun kering jatuh di atas lukaku yang belum pulih benar. Entahkah ia datang sebagi suatu peneguhan atau justru sebagai penghinaan atas segala kejadian yang menimpaku hari ini, aku tak tahu. Dan aku tak ambil peduli. Bagiku tak ada batas jelas antara peneguhan dan penghinaan. Garis yang memisahkannya begitu nisbi. Abstak. Perbedaannya tergantung dari sudut mana aku melihatnya, dan untuk kepentingan mana aku hendak mengambilnya. Bisa jadi daun itu datang dengan kedua maksud itu. Dan aku memilih untuk mencerap kedua-duanya. Sama seperti tulisan yang sering kita buat, persfektif mana yang ingin kita garap. Dari frame mana kita melihat.
Daun itu tampak seperti jiwa yang rapuh dalam keringnya keterasingan. Terlepas, melayang seturut kehendak angin yang membawanya, lalu jatuh tanpa dapat berkuasa menentukan titik jatuhnya sendiri. Pasrah. Mungkin ia diluruhkan karena pemberontakan. Diasingkan agar tak mengusik kestabilan. Atau, bisa jadi ia telah ditetak paksa dari cabangnya. Lalu ia mengering, itu sudah pasti, sebab tak ada sehelai daun pun yang dapat tetap hijau tanpa menyarangkan dirinya pada sebuah pohon bukan? Atau, memang telah hakikatnya daun itu jatuh karena tua demi memberikan ruang baru bagi generasi selanjutnya.
Banyak kemungkinan yang dapat dipikirkan, Raras. Tapi satu hal, daun itu telah menjadi Yang Terlupakan. Ia rebah di lukaku. Mungkin ia merasa bahwa aku adalah teman sejiwa. Atau, memang Tuhan mu atau Tuhan siapapun telah mengirimnya kepadaku untuk menyampaikan suatu wahyu, melalui kering dan segala retak di tubuhnya.
Raras, aku merasa begitu letih dan tuang-tulangku serasa semakin remuk. Rasa-rasanya aku kian menjadi bungkuk. Ingin rasanya aku merebahkan kepala di rentang pundakmu seperti seorang bayi dalam dekapan ibu dan membiarkan kau menghangatkan tubuhku dalam pelukmu. Aku ingin mendengar kau menyanyikan nina-bobo bagiku, lalu lelap dan meletakkan letih barang sejenak.
Jangan tanyakan mengapa curahan seperti ini yang kusampaikan kepadamu, Raras. Aku hanya merasa kadang kita sejiwa. Dan untuk yang sejiwa....aku tak butuh banyak kata. (Jakarta, 2005 _ Argiradasti Bumi,_Bumi)
Air mataku mengalir, jatuh ditadahi bantal yang menopang tanganku. Surat terakhir dari seorang sahabat.
******
Argiradasti Bumi, Bumi. Gadis penganut Agnostic. Gadis tomboy berkacamata yang hobi mengenakan kemeja kotak-kotak dibalut jaket dan celana jeans robek-robek di bagian lutut. Di lengan bawah bagian dalam tangan kanannya terdapat tato wajah Ibunya, dan disebelah kanan bergambar pena.
Bumi. Anak tunggal dari seorang wanita simpanan pejabat. Ibunya berdarah campuran Sunda-Belanda. Sejak kecil Bumi biasa hidup bergelimang rupiah. Kini ia memilih meninggalkan kemewahan dunia dan hidup mandiri di temani stralet silver keluaran tahun 90-an yang tubuhnya mulai pudar karena tertimpa paksa matahari. Dari uang tabungannya ia membuka sebuah restoran dibantu 3 karyawan untuk membiayai kuliahnya. Sesekali ia masih menemui Ibunya yang tinggal di Bandung. Ternyata, Bumi hijrah bukan hanya karena ingin mandiri tapi tak sanggup terus menjadi samsak hidup ayah tirinya. Selama menjadi wanita simpanan, diam-diam Ibunya menikah dengan laki-laki yang katanya pengusaha properti keturuan China. Bumi pun tak tahu pasti siapa ayahnya.
Persahabatan kami berawal dari organisasi Pers Mahasiswa Suara. Kami memiliki kesamaan, sama-sama hobi menulis dan menjalani hal-hal baru yang menantang. Kami semakin dekat setelah Bang Cavas, pimpinan redaksi Pers Mahasiswa Suara menggabungkan kami dalam satu tim peliputan. Bagiku Bumi gadis hebat, diusianya yang muda. Gurat kerasnya hidup masih bisa ia pikul. Betapapun letih dan sibuknya mengurus dan merintis restoran. Bumi masih sempat mengejar cita-citanya menjadi wartawan perang dan negosiator khusus pembebasan sandra. Cita-cita yang menakutkan, tapi itulah Bumi.
******
Adzan
Magrib berkumandang. Suaranya syahdu dan menenangkan. Seperti candu.
Selalu dinanti dan ingin selalu didengar. Aku berwudhu dan masuk ke
masjid kampus yang tenang dan megah. Selesai sholat, seperti biasa Bumi
yang selalu menyempatkan diri menemaniku sholat Magrib. Setelah itu,
kami pulang ke tempat masing-masing setelah kuliah dan aktivitas di Suara. Bumi kembali ke restorannya, dan aku kembali ke rumah.
Gadis tomboy itu menungguku di pelataran masjid. Gadis manis yang sudah tiga tahun melewati kisahnya denganku kali ini ia nampak serius. Lebih serius dari sebelumnya. “Raras...” ia manggil namaku pelan, tidak seperti biasanya ia suka sekali memanggil namaku lengkap ketika sedang serius diskusi dan berdebat tentang tulisan yang akan naik cetak di majalah Suara. “Rascakrawala Sidiq!!!”
aku mendekati Bumi “Ya..” ku jawab singkat.
“Ras...boleh aku bertanya?” Bumi memalingkan wajahnya ke arahku sambil meletakan novel favoritnya, Agatha chrieste kali ini judulnya “Kereta Api 4.50 dari Paddington. “Kenapa berwudhu harus membasuhnya sebanyak tiga kali? Kenapa sujud sebanyak dua kali dalam satu gerakan?” Bumi menayakan segala hal yang berhubungan dengan nominal dalam islam. Kali ini aku pun mulai serius. Tak pernah sejak pertama kali kami bertemu, sejak ia memutuskan untuk menemaiku sholat, menayakan hal seperti ini. Namun, bagiku ia adalah penganut Agnostic dan ia adalah ladang dakwahku.
“This is based on the laws of Allah dear...for you, your fight, for me, my fight!” aku sengaja menjawab dengan singkat. Dia menatapku sinis dan tidak puas dengan jawabanku. Untuk meredakannya aku balikan pertanyaannya. “Mengapa air panas mendidih 212 F? Mengapa tidak kurang dan lebih, baik ketika dididihkan di Indonesia, Afrika, Amerika bahkan dibelahan bumi manapun?” pertanyaan kulanjutkan, sambil sedikit merubah posisi dudukku. “Mengapa planet di tata surya hanya sembilan? Kenapa kaki kita dua, begitu juga dengan mata dan tangan? Kenapa tidak satu, empat, atau tiga?”
Gadis manis berkacamata inipun meliriku dengan senyum lebar sambil menggeser letak kacamatanya. “You got me this time Raras!!!”
Aku tahu ia ingin mengujiku. Akupun tahu, dia diam-diam menaruh simpatik pada agamaku.
******
“Ras...temui aku di danau” pesan singkat di telepon selurerku dari Bumi. Danau
hijau. Penuh dengan tumbuhan berbagai rupa. Ada yang tinggi dan pendek,
ada yang kecil dan besar. Semuanya saling melengkapi dan melindungi.
Tidak saling bersaing, tapi saling menyempurnakan demi kemanfaatan
ummat. Hijau. Teduh. Damai.
“Ras...” Bumi mengajakku duduk. Ia keluarkan dua kaleng minuman bersoda dan sebungkus snack rasa keju. “Ceesssss” suara gas dari dalam minuman kaleng bersoda. Ia rebahkan tubuhnya di hamparan rumput pinggir danau, aku menyusul. Sore itu betul-betul sempurna. Angin berhembus lembut menggeser dedaunan yang terlanjur jatuh. Kering dan hancur. Awan redup dan malu-malu. Subhanallah. Nikmat mana lagi yang bisa hamba pungkiri.
“Heeemmmm....” aku menjawab dengan deheman. Bumi membuka jaketnya. Setelah jaket, perlahan ia buka kancing kemejanya. Aku hanya diam dan bingung entah apa yang ingin ia lakukan. Kancing pertama, kancing kedua dan kancing ketiga. Ia buka perlahan dengan wajah sedikit merintih. Ia rubah posisi tidurnya ia miringkan badannya dan kini wajahnya tepat di depan wajahku. Perlahan dia berkata.
“Ras...coba
lihat lihat punggungku,” tadinya aku sedikit ragu dan jujur takut. Aku
sempat berfikir aneh. Namun, kuenyahkan pikiran aneh itu. Kuyakinkan
diri untuk merabanya. Astagfirullah!!! Ada luka bekas jahitan yang
semuanya cukup panjang.
“Empat tahun lalu. Aku menjanani operasi pemasangan alat bantu untuk menyangga tulang rusuk dan tulang belakang yang patah. Ayah tiriku yang melakukannya.” Bumi kembali duduk dan merapihkan kemejanya. “Waktu itu sepulang sekolah, aku melihat ayah bertengkar hebat. Entah apa yang mereka ributkan! Ketika semakin memanas ayah menyeret ibu dan membenturkan kepala ibu ke tembok! Aku marah dan ku dorong ia sekuat tenaga, namun ia justru mendorongku balik hingga aku jatuh ke lantai dasar rumah. Aku sudah putuskan! Libur pekan ini, aku akan jemput ibu untuk tinggal di Jakarta. Dan memintanya membuang laki-laki berengsek itu!!!”
Dadaku sesak, rasanya ada kemarahan yang teramat. Seandainya aku bisa berbuat sesuatu. Aku terdiam dan menahan air mata.
******
Aku
terlelap, setelah sebelumnya bulir-bulir air memenuhi kelopak dan
membanjiri pipi saat melantunkan pinta dan harap disepertiga malam.
Ternyata aku sudah merangsek di antara sajadah, tumpukan buku dan
tugas-tugas kuliah yang menggunung. Disepertiga malam kupinta dengan
khuyuk kepadaNya bukan hanya untuk Ibuku dan almarhum ayah yang genap 6
tahun meninggalkan kami. Namun, Bumi. Ku pintakan dengan sangat pada
Sang Pemilik Bumi agar ia kembali ke Jakarta dan membawa ibunya.
“Ras...Raras...Bangun Nak...Ras...!!!”
Rasanya baru tadi aku rebahkan letih barang sejenak. Namun guncangan tangan ibu di badanku memaksaku membuka mata lebar-lebar.
“eeeehhhmmm, Huuaaa...ada apa Bu, Raras masih ngantuk,” aku niatkan untuk kembali tidur setelah merespon kepanikan Ibu. Sebelumnya aku melirik jam tangan pemberian Ayah. Casio hitam yang jarang lepas dari tanganku, kecuali berwudhu dan mandi.
“Tolong dong Bu..ini baru jam 4 pagi, subuh masih setengah jam lagi...Raras masih cape,” jawabku mengguman dibalik kamus Bahasa Indonesia yang beratnya luar biasa.
“Iyaaa...Tapi Ras!!!Bumi...di ruang tamu...wajahnya lebam dan berdarah Ras...cepat temui dia!!!”
Tiba-tiba darahku naik ke kepala, seolah oksigen memenuhi kepalaku. Aku insyaf tiba-tiba dari kantuk yang teramat. Kubiarkan mukena dan sarung tetap melekat di badan, aku bergerak cepat menghampri Bumi.
Allah!!!. Wajahnya lebam, darah menetes deras di ujung bibir dan pelipis matanya. Pecah. Tangannya gemetar, air matanya mengering. Tubuhnya mengkerut dibalut jaket hitam kegemarannya. Aku peluki dan usap kepala gadis yang hamir 4 tahun ini menemani geliat peluh dan bahagianya dunia. Aku berharap ia kembali dengan membawa sang pandita ratu!!! kenapa aku harus bertemu dengannya dalam keadaan yang menyakitkan. Tanpa sadar, Ibu sudah menyiapkan es batu untuk mengompres luka Bumi dan secangkir teh hangat yang mengeluarkan asap.
“Ibu...”aku memandang sambil memandang ke arah telepon, “Bantu aku telpon dokter sekarang Bu...” Ibu beranjak dan memencet tombol telepon. Panik.
Ada perih yang teramat di hati. Mengiris bercampur marah dan sedih. Lebih sakit dari hari sebelumnya. Di danau. Aku panik, tangan ku bergetar, ujung jariku mengeluarkan butir-butir halus dari pori-pori. Tubuh yang bertumpu dipangkuanku semakin layu, hanya suara rintihan dan darah yang mengalir menembus ke mukena dan menempel kering di kulitku.
“Ras...jangan panggil dokter. Tolong...jangan yah sayang, aku cuma butuh kamu. Temani aku, please...” Bumi terdiam, nafasnya tertarik panjang. “Ras...panggilkan aku Ustad atau siapapun.
Tolong aku Raras...aku, ingin ke surga, tempat indah yang sering kau ceritakan. Tempat indah yang di bawahnya mengalir sungai dengan air berbagai rasa. Yang manisnya melebihi madu, yang putihnya melebihi susu. Aku ingin bertemu bidadari seperti yang kamu bilang dulu.” Bumi berhenti sejenak, ia kembali mengambil nafas dalam untuk melanjutkan kalimatnya. “Bisa segera sayang... Aku butuh segera...” ia mamanggilku dengan kata sayang. “Allah!!! Kenapa panggilan itu sama dengan panggilan ketika ayah akan pergi. Allah tolong gadis ini!!!, beri kami waktu...!!!”aku menjerit dan memohon dalam hati.
Air mataku semakin deras, masuk kedalam mulut dan aku berteriak memanggil ibu.
“Ibu...!!!bu...!!!. jangan panggil dokter...tolong Ustad Abdullah Bu...!!!” Ibu bergegas, seperti seorang prajurit yang panik karena telat memasuki barisan. Ibu melesat menuju rumah Ustad Abdullah. Aku pun tak tahu apa yang diinginkan Bumi. Kalut.
******
Allahu Akbar....!!!Allaaaahu Akbaaaarrr...!!! Lantuan dan seruan untuk ummat bersujud . adzan subuh menggema, melapisi udara pagi. Suara adzan yang sama namun dengan rasa dan kekhusyuaan yang berbeda. Ibu dan ustad Abdullah duduk dihadapaku dan Bumi yang masih merebahkan badahnya yang ringkih di atas pahaku. Perlahan kubangunkan ia dengan usapan dikepala penuh sayang. Tanpa sengaja air mata yang sejak tadi kubasuh akhirnya jatuh juga dipipinya.
“Bumi... ini Ustadz Abdullah sudah datang,” kudekatkan mulutku ketelinganya, kubangunkan ia dengan perlahan sambil terus kuusap kepalanya.
Perlahan matanya yang semakin lebam terbuka, walau darahnya sudah tidak mengalir lagi.
Aku
tahu ini pasti sakit, berkali-kali ia merintih. Ia buka mulunya
pelan-pelan, seolah mengumpulkan tenaga yang sudah sisa. Mulutnya
terbuka pelan karena bibirnya pecah. Hancur.
“Ustad. Tuntun saya...” aku mengerutkan dahi sambil terus mengusap air mata. Apa maksud Bumi. “Ustad. Saya ingin pergi sebagai seorang muslim, entah ini terlambat atau tidak. Tapi ini yang saya yakini. Tolong Ustad...sekarang.” ia memohon. Air matanya keluar deras dan semakin mengalir deras, sesekali ia meringis karena air matanya mengaliri luka-luka di wajahnya.
“Allahu Akbar!!! Subhanallah!!!. Ustad Abdullah takjub dan takbir tiba-tiba. Baik. Ikuti saya” Ustad
Abdulah menuntun Bumi dengan pelan dan syahdu. Ibu menangis sejadi-jadinya.
“As..hadu..alla..illahaillaullah...wa’asyhaduana..Muhammadarosullullah..” Bumi bersyahadat pelan. Khusyu.
Genap
sudah. Bumi menutup kisahnya di Bumi sebagai seorang muslim. Dengan
hasil visum terdapat luka dalam. Ia bertahan setelah menjadi samsak
hidup ayah tirinya. Ia bertahan tanpa berhasil membawa ibunya. Ia
bertahan dengan stralet silvernya bersama lukanya untuk menemuiku di
Jakarta.
******
Daun
itu pasti tertatak dari dahannya, mengering, retak, terinjak menyatu
dengan tanah. Satu yang aku tahu. Ia menyatu dengan bumi, bertemu Allah,
dan aku akan meneruskan mimpinya. Menjaga Ibunya. Kini dua wanita
mengagumkan harus kujaga baik-baik. Mimpi lain yang masihku ingat dengan
lekat. Suatu sore, masih di waktu Magrib yang lalu, Bumi berkata.
“Ras...Aku ingin menikah dengan seorang muslim. Ingin di cintai bukan
disakiti, aku ingin lelaki yang juga suamiku tak menyakitiku seperti
ayah tiriku menyakiti Mamah. Aku tak ingin perhiasan dunia. Cukup kau,
Mamah dan lelaki itu yang akan memberikanku anak yang hebat tentunya juga seorang muslim sama sepertimu Raras.”
Mungkin bagi orang ini bukan mimpi besar, tapi baginya, setidaknya bagiku ini adalah mimpi besar. Tergantung dari persfektif mana kita melihatnya.
-TAMAT-
“Terinspirasi dari kisah nyata dan film “The Pursuit Of Happyness” yang sudah dikonstruksi oleh penulis”
1 comments:
mba Siti Rachma, aku copas yah, baca di rumah ajah
Posting Komentar