Oleh: Rama Arjuna
Kebahagiaan dapat dirasakan ketika kita bisa memberikan kebahagiaan kepada sesama. Namun sebaliknya, penyesalan akan mendera diri kita bertubi-tubi tatkala sebuah kebahagiaan yang seharusnya dapat diberikan justru tidak kita berikan. Demikianlah fitrah manusia, sebelum hati menjadi bebal, keras dan tak mampu bersimpati dengan lingkungan yang menyapanya.
Banyak contoh yang kita temui dan alami, salah satunya ketika berada di sebuah angkutan bus umum. Bangku yang tersedia di dalam bus sering tak mencukupi untuk semua penumpang yang memanfaatkannya. Beberapa penumpang harus rela berdiri, saat memaksakan diri naik ke dalam bis yang telah penuh tersebut. Saat itulah sebuah ketulusan akan teruji.
Suatu ketika di pagi yang dingin di akhir bulan Desember kemarin, seorang nenek dengan membawa bawaan yang cukup merepotkan, berdiri di samping tempat dudukku di dalam bus jurusan Jakarta-Purwakarta. Sebenarnya bus belum terlalu penuh, namun semua kursi telah terisi penumpang. Lalu, mulailah pergolakan batin terjadi.
Fitrahku menuntun agar aku segera bangkit dan menawarkan tempat duduk untuk nenek itu, namun egoku bersikeras agar membiarkan saja nenek itu bersandar pada kursi-kursi penumpang, siapa tahu ada penumpang lain yang akan menawarkan tempat duduknya kepada nenek itu.
Keenggananku melakukan hal itu, tentu saja bukan alasan utama untuk bersikeras mempertahankan egoku. Karena rasanya itu tidak mungkin mengingat selama ini aku belum pernah melihat ada orang yang bersedia merelakan tempat duduknya untuk ditempati orang lain, kecuali jika orang tersebut telah berniat untuk turun.
Egoku bertahan karena aku berfikir sang nenek tentu tidak akan melakukan perjalanan jauh, sebentar lagi dia pasti akan turun. Sedangkan yang kubayangkan, seandainya aku mempersilahkannya duduk di tempatku, aku tidak akan mendapatkan tempat duduk itu lagi lantaran setelah nenek itu pergi, orang lain yang posisinya lebih dekat dengan sang nenek akan mendudukinya.
Dalam posisi berdiri, hampir tidak mungkin aku akan berada di samping nenek itu terus, karena kondektur akan menyuruhku bergeser dan semakin menjauhi tempatku semula jika ada penumpang naik. Padahal bawaanku cukup banyak dan akan merepotkan jika aku berada jauh darinya.
Akhirnya kuputuskan untuk menuruti egoku. Namun sepanjang perjalanan batinku terus bergolak. Ketika pada akhirnya kuputuskan untuk berdiri, sang nenek tak kulihat lagi. Rupanya beliau telah tertelan dalam kerumunan penumpang yang semakin padat saja.
Sementara itu penumpang-penumpang yang berdiri di sebelahku tak satupun yang bagiku memenuhi syarat untuk menggantikan nenek itu menempati tempat dudukku. Akhirnya penyesalanku berlanjut hingga berhari-hari. Terutama yang membuatku menyesal adalah kejadian tersebut terjadi di akhir tahun dan menjelang tahun baru 2012, ketika satu amal kebaikan akan mendapatkan reword sebesar-besarnya dari-Nya.
Pengalaman lain terjadi di sebuah bis. Ada seorang ibu dan ibunya (mungkin saja mertuanya) menggendong bayi mungil yang sedang rewel karena kepanasan. Mereka berdiri cukup jauh di depan tempat dudukku. Padatnya penumpang yang tidak mendapatkan tempat duduk sempat menjadi pertimbanganku ketika hendak menawarkan tempat duduk, apalagi bawaanku cukup banyak juga.
Akhirnya kuputuskan untuk menunggu sebentar barangkali orang-orang yang duduk di sebelahnya akan menawarkan tempat duduknya, sebab ku lihat mereka yang duduk cukup kuat untuk berdiri sampai terminal terakhir sekalipun. Namun menit-menit berlalu begitu saja tanpa ada yang bersimpati. Sementara itu sang Ibu terus berjuang menenangkan bayi yang sedang rewel dalam gendongannya.
Akhirnya, sang pahlawan datang (hehehe), kutinggalkan barang bawaanku di bawah tempat dudukku dan kuterjang kerumunan penumpang yang penuh sesak. “Bu, duduk di sana saja, kosong,” kataku satelah berhasil mencolek bahu ibu itu yang masih cukup jauh dariku.
“Oh, buk! masih ada kursi kosong. Aku duduk di sana saja!” sang Ibu menegur Ibunya (mungkin saja mertuanya) tanpa mempedulikanku yang menghalau orang-orang yang mau menduduki tempatku, mereka pikir aku mau turun. Akhirnya ibu tersebut mendapatkan tempat duduk, dan sama sekali tak menghiraukanku.
Saat itu aku mengharap ibunya memberikan sedikit apresiasi meskipun sekedar senyum saja padaku. Ternyata mereka bahkan sama sekali tak menatapku. Lupakah mereka akan budaya ramah bangsa ini yang senantiasa dibanggakan ke negara-negara tetangga? Barangkali memang budaya mulia itu yang telah terkikis dari bangsa ini, budaya yang bahkan tak diperjuangkan untuk menjadi trade mark bangsa layaknya batik dan reog Ponorogo. Tapi, ya sudahlah, semestinya aku memang tak mengharapkan pamrih sedikitpun.
Kebaikan yang menular, Rasulullah SAW, sang Tauladan terbaik telah mengajarkannya kepada kita semua. Bukan dengan ceramah ataupun pidato yang menggurui, memfonis, bahkan menggertak, namun dengan memberi contoh sehingga ditiru oleh umatnya. Itulah cara terampuh tanpa harus keluar kata-kata. Tak berapa lama setelah ibu tersebut duduk bersama bayinya yang masih rewel, pria yang duduk di sebelahku tadi tiba-tiba ikut berdiri, menawarkan kursinya untuk nenek sang bayi itu.
Jika pada pengalaman sebelumnya, aku terus gelisah dalam tempat duduk nyamanku. Maka di pengalaman selanjutnya justru membawa ketenangan dan kenyamanan hati yang aku dapatkan, meskipun harus berdiri berdesak-desakan dengan penumpang lainnya.
Dan sepanjang perjalanan, surah Ar Rahman dilantunkan berulang-ulang, “Fabiayyi' ala irobbikuma tukadziban (maka, nikmat rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan)” membuat hati tenang dan semakin malu akan kekuranganku sebagai manusia. Karena Allah SWT, memiliki sifat penyayang yang begitu besar kepada hambaNya, sedangkan kita yang hina dan begitu congkak ini, untuk memberikan sedikit saja rasa cinta kepada sesamanya begitu sulitnya. Bagaimana dengan anda, sahabat. Wallahu’alam
*) Rama Arjuna (rama_arjuna@yahoo.com), tinggal di Bekasi
:: Redaksi PKS Pesanggrahan menerima tulisan/artikel/cerpen, dengan mencanyumkan nama dan foto (pribadi, keluarga, ilustrasi)
BERITA TERBARU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar