Oleh: Nada Ash Shubhi
Dalam celupan cinta jiwa-jiwa itu muncul kembali dengan kesamaan-kesamaan baru: keramahan yang tulus, kerendahan hati yang natural, kedermawanan dan kebiasaan menolong orang lain. (Anis Matta)
Saat itu dalam sejarah cinta para pemimpin, diangkatlah khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin setelah khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Ketika itu Umar bin Abdul Aziz berdiri bersama sahabatnya sembari memegang sehelai kain yang harganya sekitar 3 dirham kemudian beliau berkata kepada sahabatnya, “sungguh, kain ini terlalu halus untukku”.
Sahabatnya kemudian tersenyum dengan mata berkaca hingga tak sadar jika air matanya pun meleleh. Umar kemudian bertaya kepada sahabatnya itu
“Mengapa kau tersenyum?”
“Aku ingat mudanya kau dulu, saat kau masih di Madinah, kau terlambat shalat hanya untuk sekedar menyisir rambut, kau katakan kain seharga 3000 dirham rasanya begitu kasar, namun lihat saat ini, bahkan untuk 3 dirham kau katakan itu terlalu halus” sambil geleng-geleng sahabatnya mengungkapkan itu kepada umar.
Umar pun membalas senyuman sahabatnya dengan mata berkaca kaca.
Begitupun dengan istrinya, Fatimah, anak dari khalifah Abdul Malik bin Marwan itu tersenyum teringat lembaran episode saat bersama suaminya. Saat itu, Fatimah bersama Umar bin Abdul Aziz, ia meraba permata yang ada dileher Fatimah yang merupakan hadiah pernikahan dari ayahnya, umar berbisik ditelinga Fatimah “engkau pasti tahu darimana ayahmu memberimu permata yang kau pakai ini, apakah engkau keberatan bila permata ini kita taruh di dalam kotak, dan kita masukan ke baitul maal?”
Fatimah segera mengambil kotak permatanya, ia masukan permata dilehernya kedalam kotak dan ia berikan ke genggaman umar untuk ia masukan ke baitul maal. Umar semakin dekat dan mendekap, memeluk mesra Fatimah, seolah ia sampaikan kecintaan yang amat besar kepada Fatimah karena telah menemani dan menguatkan perjalanan umar sebagai seorang pemimpin, yang begitu besar tanggung jawabnya di hadapan Rabb Semesta alam.
Ditepi perjuangan, cintapun berkata, ada cinta diatas cinta, yaitu cinta kepada Pencipta Cinta. Menghunjam pada relung manusia, ia berkarya, bekerja, dan menata dari tepi dunia hingga pintu syurga.
Ditepi perjuangan, cintapun berkata, sang pencipta cinta telah menjanjikan untuk mereka syurga yang begitu indah pada manusia dan mulia disisi Nya.
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka”. (QS At Taubáh: 111)
Maka ditepi perjuangan, cinta pun berkata “Aku meminta segalanya”. Wallahua’lam
BERITA TERBARU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar