Oleh: Pramana Asmadiredja
Diantara akhlak mendasar di dalam pergaulan adalah husnudzon atau berprasangka baik kepada orang lain. Akhlak dan pandangan seorang mukmin tidak boleh didasarkan pada prinsip memuji diri sendiri dan menyalahkan orang lain.
“Dia mengetahui tentang kamu, sejak Dia menjadikan kamu dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu. Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS An Najm: 32).
"Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci (orang Yahudi dan Nasrani). Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka tidak dizalimi sedikitpun.” (QS An Nisa: 49).
Seorang mukmin harus selalu merasa dihantui rasa kurang melaksanakan perintah-perintah Allah dan menunaikan hak-hak hamba Allah. Ia mengamalkan kebaikan dan bersungguh-sungguh dalam ketaatan. Adakah kita termasuk salah seorang diantara mereka, yang selalu melihat kekurangan diri sendiri dan bukan melihat kekurangan orang lain?
Dan diantara cabang iman yang terbesar ialah berprasangka baik kepada Allah dan manusia. Kebalikannya adalah, berprasangka buruk kepada Allah dan hamba Allah. Prasangka buruk atau su’udzon merupakan perangai jahat yang dikecam oleh Alquran dan As Sunnah.
Seharusnya kita sebagai seorang muslim tidak boleh berprasangka kepada orang lain kecuali dengan kebaikan. Kita harus selalu menanggapi semua yang dilakukannya dengan tanggapan yang baik, sekalipun nampak kelemahan dan keburukannya, demi untuk memenangkan sisi kebaikan atas keburukan.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa." (QS A1 Hujurat: 12). Makna prasangka dalam ayat ini adalah prasangka jelek yang tidak didasarkan pada bukti yang nyata. Nabi SAW bersabda: “Jauhilah prasangka (jelek), karena sesungguhnya prasangka (jelek) itu merupakan omongan yang paling dusta.” (HR Bukhari Muslim)
Seorang muslim apabila mendengar tentang kejelekan saudaranya seharusnya mengusir gambaran buruk dari benaknya tentang saudaranya tersebut dan tidak berprasangka kecuali kebaikan. Allah SWT berfirman: “Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, “Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata." (QS An Nur: 12).
Prasangka buruk itu termasuk perbuatan yang hampir tidak dapat dihindari oleh seseorang. Namun demikian, seorang mukmin tidak boleh menurutkan bisikan syetan dalam menimbulkan prasangka buruk kepada sesama muslim apalagi sesama aktivis dakwah. Ia harus mencarikan berbagai alasan dan jalan keluar dari kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan, daripada membesar-besarkannya.
Sesungguhnya orang yang paling dimurkai Rasulullah saw dan orang yang paling jauh tempat duduknya dari Nabi saw pada Hari Kiamat ialah orang-orang yang menjual kesalahan-kesalahan kepada orang-orang yang tidak bersalah. Apabila ada seorang Muslim melakukan suatu amalan yang mengandung satu sisi kebenaran dan duapuluh sisi keburukan maka amalan tersebut harus ditafsirkan dengan sisi kebaikan tersebut.
Jika tidak ditemukan sisi kebaikannya, sebaiknya ia tidak bertindak gegabah dan terburu-buru melontarkan tuduhan apalagi apalagi menyebarkan berita dusta dan kebohongan. Mungkin tidak lama lagi sisi kebaikan itu akan nampak baginya.
Diantara hal yang harus dihindari ialah tuduhan terhadap niat dan vonis. Atas sesuatu yang terdapat di dalam hati, yang kebenarannya hanya diketahui oleh Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
Sesungguhnya lapangan siyasah syar’iyah itu sangat luas, sehingga mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat dan pandangan, antara yang berwawasan sempit dan yang berwawasan luas. Bahkan dalam menentukan maslahat tidaknya satu hal saja kadang-kadang timbul perbedaan yang luas.
Kita harus mengutamakan husnuszon atau prasangka baik dan tidak mengikuti prasangka yang buruk, karena prasangka buruk itu tidak berguna sama sekali. Ada yang memandang perlu memasuki pemilihan umum dan parlemen sedangkan yang lainnya menolak tindakan tersebut. Semua itu merupakan lapangan ijtihad yang tidak boleh dijadikan alat untuk menodai keimanan seseorang.
Sesungguhnya ikhlas karena Allah SWT itu akan menghimpun dan menyatukan hati-hati mukmin dan mukminah, sedangkan mengikuti hawa nafsu akan memecah belah dan mencabik-cabik kesatuan Islam. Karena, kebenaran itu satu, sedangkan hawa nafsu itu banyak, sebanyak jumlah kepala manusia.
Permasalahan yang banyak menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam dari dahulu hingga sekarang, adalah karena mengedepankan hawa nafsu. Seringkali perselisihan yang timbul tidak bersifat esensial atau tidak hakiki, akan tetapi yang membesar-besarkannya adalah hawa nafsu. Semoga Allah memberikan kepada kita semua kebaikan dan terbebas dari apa yang sangat dimurkai oleh Allah SWT. Karena itu, marilah kita selalu berprasangka baik kepada orang lain. Wallahu'alam
BERITA TERBARU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar