Berita Terkini :

BERITA TERBARU

Belajar Mendengar “Hearing or Listening”

Selasa, 10 Januari 2012


Oleh: Siti Rachma


“Ketika kemarin sore ku dengarkan suara daun kering yang rapuh tertatak dari rantingnya. Ada luka mendalam...apakah luka tersebut sebuah konsekunesi logis dari mendengarkan atau hanya mendengar?”

Suatu ketika, saya berkenalan dengan wanita paruh baya yang sedang berdiri di halte bus dekat kampus saya ketika menyelesaikan studi strata satu. Bukan karena tidak ada kerjaan atau sekedar iseng saya mendekati wanita tersebut. Pembicaraan kami berawal dari pertanyaan saya kepadanya. Waktu itu, saya tanyakan hendak kemana sang ibu, karena wajahnya menampakan kebingungan dan membutuhkan bantuan.

Setelah ibu tersebut menyatakan tujuannya dan kebetulan kami menuju arah yang sama saya pandu sang ibu menuju tempat yang dituju. Intinya diskusi kami ada di dalam angkutan umum. Perbincangan semakin cair, ketika saya sampaikan satu pertanyaan yang jawabannya sangat panjang, sepanjang perjalanan kami. “Ibu kenapa pergi sendiri, anak Ibu tidak menemani?” tanya saya pelan khawatir menyakiti hatinya. Sang ibu, merubah posisi duduknya lebih dekat ke arah saya bahkan lututnya menyentuh lutut saya. Ibu tersebut bercerita panjang lebar. Sang Ibu memiliki 4 orang anak.

Anak pertama sarjana pertanian di IPB (Institut Pertanian Bogor) sekarang bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) dengan jabatan yang cukup prestisius. Putra ke-duanya seorang dokter spesialis ortopedi, dan praktek di rumah sakit pemerintah di Jakarta. Putri ke-tiganya seorang Dosen dan sedang menyelesaikan S3-nya di Jepang. Dengan bangga sang ibu bercerita tentang ketiga anaknya walau dalam hati terbersit pertanyaan besar.

Mengapa seorang ibu dengan tiga anak yang sukses tidak difasilitasi kendaraan yang layak untuk wanita seusianya guna bepergian. Kisahnya belum usai, sang Ibu masih terus bercerita. Namun kini lebih fokus dan nampak serius. Kali ini ia bercerita tentang anak ke-empatnya. Ia berkata dengan rasa bangga yang lebih dari sebelumnya. Anak bungsunya ini seorang wanita, hanya seorang guru Taman Kanak-Kanak dengan pendidikan terakhir D3. Anak bungsunya inilah yang menemani sang Ibu, menjaga dan melayaninya.

Sekarang anak gadisnya sedang sakit dan dirawat. Dan tujuan sang ibu adalah mencari rumah salah satu dari ketiga anaknya yang sudah sukses untuk meminta bantuan biaya pengobatan anak bungsunya. Saat itu saya tidak berani melanjutkan pertanyaan. Tidak berani menganalisa, karena khawtir hati ini terlalu kotor, analisis ini terlalu dangkal dan pandangan ini terlalu fakir untuk memberikan penilaian apalagi menghakimi ketiga anak ibu tersebut.

Ketika kami sampai di tempat yang dimaksud, sang ibu mengucapkan terimakasih yang sangat dalam, ia usap bahuku dan berkata. “terimakasih ya nak, sudah mau mendengar cerita ibu, selama anak ibu sakit, tidak ada tempat untuk ngobrol.” Ia menutup pembicaraan dengan senyumanan yang sangat tulus dan lepas. Seperti yang saya katakan, bahwa saya tidak berani menganalisis apalagi menghakimi ketiga anak ibu tersebut. Namun yang ingin saya katakan adalah, betapa menjadi pendengar tanpa banyak berkomentar sesungguhnya kita telah menyelamatkan seseorang dari kesedihan yang teramat dalam.

Bahwa menjadi pendengar bukan hanya mendengarkan dengan telinga. Namun menjadi pendengar haruslah mendengarkan juga dengan hati. Sebagai seorang kader dakwah, kita bukan hanya dituntut sebagai orator yang mampu membius objek dakwah atas argumentasi atau hujjah-hujjah yang kita sampaikan. Bukan sekedar kepandaian kita mengkritik orang lain bahkan memberikan saran-saran yang di luar dari kemampuan objek dakwah kita untuk melakukannya. Yang juga dibutuhkan oleh objek dakwah kita adalah sosok da’i atau dai’ah yang mampu mejadi pendengar yang murni mendengarkan tanpa tendensius apapun, tanpa penghakiman dan solusi-solusi yang rumit.

Rasanya perlu kita belajar gaya komunikasi yang baik. Karena sampai hari ini Kita lebih banyak bicara dibandingkan mendengarkan keluhan orang lain. Atau kita perlu melakukan pelatihan atau tryning khusus tentang bagaimana cara belajar mendengarkan “Listenging not hearing”. Karena esensinya Listening adalah mendengarkan, artinya ketika mendengarkan, kita bukan cuma mendengar namun juga meresapi, berempati terhadap cerita bahkan keluhan yang disampaikan objek dakwah kita. Sedangkan hearing atau mendengar tidak lebih dari sekedar masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

Kita sibuk mengomentari dan mengkritik dengan bahasa-bahasa yang sulit dimengerti oleh objek dakwah kita. Kita sibuk menyimpulkan apa yang telah diberitakan oleh objek dakwah kita. Memang, Indonesia adalah negara dengan budaya bertutur dan bercerita, coba kita lihat berapa banyak dongeng-doneng dan cerita rakyat yang ada di negara ini semua itu adalah salah satu gambaran bagaimana orang Indonesia memiliki kesenangan untuk bercerita dan bertutur.

Orang jawa misalnya, tidak akan mengungkapkan ketidaksukaannya dan ketidak setujuan terhadap sesuatu langsung dengan kata “TIDAK”. Orang jawa akan unggah-ungguh untuk mengatakan ketidak setujuannya dengan dibalut kata-kata yang yang halus dan berputar-putar. Hingga kerap muncul mitos-mitos kuno yang hingga kini sering kita dengar. Misalnya tidak boleh duduk di depan pintu, karena akan menghalagi jalan. Untuk menyatakan tidak boleh saja sampai muncul mitos, bahwa duduk di depan pintu pamali, karena akan menjauhkan jodoh. Dan masih banyak mitos yang intinya melarang atau tidak boleh melakukan sesuatu yang dibuat ke dalam bentuk cerita.

Begitu juga dengan orang dari Melayu, mereka memiliki tradisi berpantun untuk mengungkapkan ide yang ada dalam pikirannya. Semua ini adalah tradisi. Bangsa kita memiliki kelebihan atau keunikan yaitu sebagai bangsa yang bertutur dan bercerita. Esensi dari apa yang telah disebutkan di atas adalah komunikasi. Tiap-tiap manusia memiliki gaya berkomunikasi atau bertutur yang berbeda guna mengungkapan rasa, ide, gagasan dan yang tak kalah pentingnya, seseorang berbicara adalah untuk menunjukan eksistensinya sebagai individu di tengah masyarakat atau organisasi yang dinaunginya.

Namun sadarkah kita, bahwa kita terkadang ingin dianggap pintar, lebih baik dari orang lain dan mengganggap orang lain pasif atau bodoh. Agar dirinya dianggap vokal atau cerdas. Bukankah kita banyak berbicara kita lupa untuk mendengarkan orang lain. Survei yang dilakukan, orang-orang yang berhasil adalah orang-orang yang banyak mendengar. Mendengarkan bukan sama dengan bernafas yang tidak perlu dipelajari. Mendengarkan adalah sesuatu yang harus dipelajari terus menerus. Karena mendengarkan tidak sama mendengar.

Sebab esensi dari mendengarkan adalah memahami, menghayati dan meresapi makna dari tiap proses diskusi dan pembicaraan kita terhadap orang lain. Karena mendengarkan bukanlah proses biasa, namun proses yang luar biasa karena seorang pendengar yang baik adalah orang yang cerdas dan memiliki kemampuan khusus. Dalam komunikasi proses mendengarkan sangat urgen karena mendengar adalah kunci dari berlangsungnya komunikasi. Unsur feedback dari sebuah proses komunikasi antar pribadi, organisasi bahkan dalam jumlah yang massif bahkan media massa sangat penting.

Karena dengan mendengar Anda akan merasa dihargai dan feedback dari komunikasi adalah kunci dari berlangsungnya komunikasi dua arah yang berkesinambungan. Itu pun yang diinginkan oleh seorang da’i dan da’iah, komunikasi yang berberkelanjutan dengan objek dakwahnya. Ketika da’i ingin menanamkan nilai-nilai bahkan hingga memutar haluan objek dakwahnya hingga memahami jalan dakwah dan tersibgah menjadi bagiannya, da’i atau kader dakwah harus pula memiliki kemampuan persuasi yang baik.

Dalam komunikasi, fungsi persuasi digunakan untuk membujuk orang lain agar mengikuti nilai-nilai dari apa yang diharapkan oleh organisasi tersebut. Tidak hanya fungsi persuasi rasanya yang harus dijalani oleh kader dakwah, dalam tataran organisasi dakwah kampus khususnya. Kader dakwah juga harus menjalani fungsi lainnya demi terwujudnya organisasi dakwah yang muntijah (berhasil).

Di antaranya adalah fungsi informasi - dibutuhkan informasi yang benar dan baik dalam sebuah organisasi agar tidak terjadi rumor dan gosip yang memecah belah organsiasi. Fungsi regulasi - perlu menyatukan anggota dalam organisasi dakwah agar tujuan sebuah organiasi dapat tercapai. Yang terakhir, Integrasi, yaitu perlu menyatukan pikiran, ide atau gagasan dari tiap anggota organisasi dakwah agar tujuan sebuah organisasi dapat tercapai.

Dari empat fungsi ditersebut peran pemimpin yang mendengarkan bukan sekedar mendengar sangat dibutuhkan untuk memajukan geliat organisasi dakwah. Karena pikiran orang lain akan menyempurnakan gagasan yang kita miliki. Bukankah Rosullullah Sallahu a’laihi wasalam adalah contoh pemimpin yang sangat menghargai dan mendengarkan ide-ide kaumnya. Rasulullah pernah bersabda, “Aku ridha atas umatku terhadap apa yang diridhai Ibnu Mas’ud. Dan aku marah atas sesuatu yang membuat marah Ibnu Mas’ud.” (HR. Thabrani). Dikisahkan Abdullah ibnu Mas’ud adalah orang yang teliti, melalukan segala sesuatu dengan pelan dan hati-hati, lembut, penyabar dan baik hati. Ia termasuk di antara sedikit sahabat Rosulullah yang dijuluki sebagai sahabat yang ilmunya melimpah ruah.

Seorang sahabat Nabi yang mendapatkan kedudukan istimewa hingga hujjahnya juga menjadi hujjah baginda Rosulullah Sallallahu a’laihi wasalam. Ilmu yang melimpah ruah yang dimiliki Ibnu Mas’ud adalah konsekunesi logis dari ketelitiannya dan sudah tentu kemahirannya dalam mendengarkan tiap perkataan dan hujjah baginda Rosulullah sallallahu a’laihi wasallam. Ibnu Mas’ud adalah sahabat Rosul yang cerdas menggunakan kecerdasannya dalam mendengarkan bukan hanya mendengar.

Mohon maaf, saya terpaksa sepakat dengan pendapat bahwa “persepsi tidak pernah salah”. Ya saya sepakat betul dengan pendapat tersebut. Pasalnya, tiap-tiap orang ketika mendapati sebuah fenomena tidak akan selalu sama sudut pandangnya, maka ketika melihat dari sudut pandang yang berbeda, konsekuensinya persepsi yang dimiliki akan berbeda pula. Maka persepsi sangat subjektif absah adanya. Bila terjadi ketidakakuratan dalam persepsi kita terhadap fenomena. Maka kita butuh mendengarkan orang lain untuk lebih menyempurnakan persepsi kita terhadap sebuah fenomena.

Adalah Chester Barnand presiden Bell Telephone Company di New Jersy Amerika Serikat. Barnard mengungkapkan sebuah tesis, bahwa organisasi hanya dapat berlangsung melalui kerja sama antar manusia, dan bahwa kerja sama adalah sarana di mana kemampuan individu dipadukan guna mencapai tujuan bersama atau tujuan yang lebih tinggi.

Daniel Katz dan Robert Kahm bahwa, sebagai suatu sistem sosial, organisai memiliki keunikan di dalam kebutuhannya guna memelihara berbagai masukan untuk menjaga agar perilaku manusia di dalam organisasi tersebut tetap dalam keadaan terkendali. Sistem memiliki tujuan-tujuan bersama yang seharusnya menomor-duakan kebutuhan-kebutuhan individu.

Sebuah tesis yang menggugah. Bahwa dalam ketika menyampaikan gagasan seorang da’i dilarang keras menunjukan “ke-AKU-annya”. Yang ada dalam barisan dakwah atau organisasi dakwah hanyalah kata “KITA” jamak tidak tunggal. Bahwa jalan dakwah ini dibutuhkan sistem yang dimana orang-orangnya mampu menjaga diri dari egoisme dan dominasi keAKUannya. Kader dakwah harus meluntrukan egonya demi mendengarkan orang lain.

Ada beberapa pendekatan dalam ilmu komunikasi yang rasanya bisa kita jadikan bahan pertimbangan, yaitu pendekatan Human relation. Explaitative authoritaive, pimpinan menggunakan kekuasaan dengan tangan besi. Keputusan yang dibuat oleh pemimpin tidak memanfaatkan atau memperhatiakan umpan balik dari para bawahannya. Sedangkan sistem kedua, Benevolent authoritative, hampir sama dengan sistem yang pertama.

Perbedaannya pada sistem yang kedua, pimpinan cukup memiliki kepekaan terhadap kebutuhan para karyawan. Sistem ke tiga, consultative, pimpinan masih memegang kendali, namun mereka participative management. Memberikan kesempatan kepada para karyawan mengarahan para bawahan untuk meningkatkan rasa tanggung jawab dan motivasi bekerja yang lebih baik.

Jenis pemimpin yang manakah kita?. Karena substansinya seorang da’i atau kader dakwah adalah pemimpin. Ia harus mampu bertanggung jawab dan memotivasi. Dan untuk mencapai itu semua dibutuhkan seorang da’i yang pandai mendengarkan bukan mendengar. Bahkan ada sebuah ungkapan “Orang besar adalah orang yang mampu mendengarkan orang lain dan bukan sampai disitu, ia akan menjadi orang yang mampu memotivasi orang lain untuk berbicara lebih baik.” Siapkah kita? InsyaAllah.

Share this Article on :

0 comments:

Posting Komentar

 

© Copyright PKS Pesanggrahan 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.