Berita Terkini :

BERITA TERBARU

Abdullah, Laptop dan Cita-Citanya

Senin, 09 Januari 2012

Oleh: Siti Rachma

Assalamu’alaikum Ayaaah...Ibuuu....

Abdullah riang melenggangkan kaki kecilnya ke arah pekaranan rumah yang asri dan cukup luas. Pekarangan yang didesign sedemikan rupa untuk kenyamanan penghuninya dengan gaya minimalis dan modern. Abdullah masuk setelah sebelumnya melepas sepatu yang tak pernah luput dari sapuan semir dan sikat agar selalu terlihat besih dan baru.

“Bibi...!” sahut Abdullah memanggil pembantu rumah tangga yang hampir delapan tahun bekerja dan turut mengasuh Abdullah. Abdullah, bocah sembilan tahun berwajah tampan dan periang. Ia suka bercerita kepada Bibinya tentang apapun yang ia lihat. Tak lupa, Abdullah memberikan sang Bibi gulali berbagai bentuk yang ia beli di sekolah. “Ia Abang...” Abang panggilan sayang sang Bibi untuk Abdullah.

Walaupun Abdullah tidak memiliki adik atau kakak, namun Abdullah sangat senang dengan sebutan Abang, karena baginya itu adalah doa, karena kelak ia akan menjadi seorang kakak bagi adik-adiknya. Walaupun sang Ibu belum menunjukan tanda-tanda akan memberikan Abdullah seorang kawan untuk diajak bermain.

“Bibiii...!, liat! abang juara satu lomba melukis antar siswa sekolah dasar. Ini piala dari Gubernur loch Bi...liat nich ada tulisannya. Gubernur DKI Jakarta! di berikan kepada Abdullah Juara I lomba melukis dengan tema Jakarta Bebas Macet.” Abdullah kecil antusias menunjukan piala yang tingginya hampir sama dengan tinggi badannya.

“Subhanallah, Abang memang hebat, pintar, semoga kelak Abang bisa seperti Ayah, jadi Arsitek ya...!” Bibi sangat bahagia dan hampir menitikan air mata. “Amin Bibi,” jawab Abdullah dengan nada pesimis dan wajah yang lesu. Entah mengapa, tiap kali ada orang yang mengharapkan Abdullah kecil kelak tumbuh dewasa dan menjadi Arsitek seperti Ayahnya, ia selalu tidak bersemangat, seolah menjadi seperti Ayahnya adalah sesuatu yang tidak menyenangkan.

“Bi..., Ayah sama Ibu kemana, tadi pagi mobilnya masih ada. kenapa ndak jadi jemput Abang. Ini kan hari sabtu Bi? Padahal mereka janji tadi malam mau jemput Abang hari ini. Abi, Ummi Fadil dan Nisa ada kok di rumah” Abdullah melongok ke rumah sahabat yang letaknya berhadapan dengan rumahnya. “Papah sama Mamah Raihan juga tadi tidak kerja dan bisa datang ke sekolah, kenapa sich Bi, Ayah dan Ibu jarang di rumah, apa mereka ndak kangen sama Abang?!” Abdullah membombardir Bibi dengan banyak pertanyaan.

“Iyaaa, tadi Ayah dan Ibu mendadak harus ke Balikpapan sayang, tadi Ayah dan Ibu pesen bilang mohon maaf karena tidak bisa hadir di pengumuman lomba melukis Abang hari ini. Insyaallah Ayah dan Ibu akan pulang secepatnya begitu pekerjaan selesai” Abdullah pun menunduk, dagunya menyentuh leher dan punggungnya membungkuk berjalan lunglai tak bertenaga. Sang bibi hanya diam terpaku melihat Abdullah yang sejak kecil di asuhnya dengan penuh kasih sayang karena ibu dan Ayah Abdullah sibuk bekerja dan menjalankan bisnis furniture mereka yang mulai berkembang pesat.

Kriiinnnggggg Kriinnnggggg..... Alarm penanda sholat Ashar berbunyi kencang menembus dinding dengan wall paper bernuansa luar angkasa dengan warna dominan biru langit dan abu-abu. Abdullah turun dari atas kasurnya, berjalan menuruni tangga dan menuju dapur. “Biiii..., Ayo kita sholat Ashar.

Tapi sebelum sholat Abang mau minum susu dan biskuit coklat dulu.” Abdullah kecil terbiasa menyiapkan makanannya sendiri jika ia melihat Bibinya sibuk. “siap bos...!” sahut Bibi, yang masih sibuk menyiapkan makan malam untuk Ayah dan Ibu Abdullah yang rencananya akan pulang dari Balikpapan nanti malam. “Oia...! Ayah dan Ibu pulang malam ini loch Bang!!!, ini Bibi sedang masak balado teri-kacang sama sayur bayem kesukaan Ayah dan Abang.” Wajah Abdullah nampak ceria dan bersemangat, ia lahap biskuit cokat penuh gairah dan ia teguk susu tawar hangat. Ia langsung melesat ke kamar mandi untuk berwudhu dan memerintahkan Bibinya agar segera menyusulnya ke musholla keluarga.

21:00 WIB “Bi...”sahut Abdullah yang menopang dagunya di atas tumpukan buku Kisah-Kisah Nabi for Children, dan lembaran putih berukuran A3 yang penuh dengan nuansa dan warna-warni. “Betul..Ayah dan Ibu pulang malam ini?” Bibi terlihat bingung, alisnya menyatu dan keningnya mengkerut. Tangannya terus melipat pakaian sekolah Abdullah yang akan di pakai besok pagi.

“eeemmm...maaf Abang, Bibi lupa, bada magrib Ayah dan Ibu telepon, tidak jadi pulang hari ini. Ayah dan Ibu masih harus terbang ke Yogjakarta untuk cek barang yang akan di kirim ke Belanda.” Bibi terdiam menunduk sejenak, kemudian melirik ke arah bocah kecil yang terlihat murung. Kali ini Abdullah merobah posisi tubuhnya, ia terlentang, matanya menerawang keluasnya langit-langit rumah, kemudian ia tolehkan wajahnya ke arah bingkai-bingkai foto yang berjejer rapih. Matanya bergeser memperhatikan gambar dirinya bersama kedua orang tuanya. Bibi berinisiatif mencairkan suasana. “Abang...ikut bibi ke halaman belakang yuk!!!,” tangan Bibi meraih tangan Abdullah. Abdullah berdiri lemas, seolah tulang-tulang kakinya tak mau diajak bersahabat. Namun ia paksa untuk beranjak dan mengikuti langkah Bibi.

Rupanya Bibi berhasil mengalihkan suasana hati Abdullah. “Taraaaaa.....” suara Bibi menggema, mengejutkan Abdullah yang sedang tak enak hatinya. “Subhanallah!...Kucing!!! wahhh hebat, bibi dapat dari mana?!. waaahhh kalo Ayah dan Ibu tahu, Bibi bisa kena marah loch, Bibi tahukan Abang ndak boleh melihara binatang di rumah Bi!!!” “tenang Bang, Bibi sengaja belikan kandang kecil dan di taruh di halaman belakang agar Ayah dan ibu tidak tahu” “Tapi Bi, kucing ini dari mana? Bibi beli yah? Ini kucing angora yang kita lihat di toko binatang bulan lalu, persis Bi...tapi apa iya sama dengan yang kita lihat Bi?” tanya Abdullah sambil menggendong da mengelus-elus bulu kawan barunya.

Bibi gelagapan. BiBi sengaja tidak mau Abdullah tahu bahwa ia mengumpulkan uang gaji untuk membelikan Abdullah seekor kucing yang dari dulu diinginkannya. “Eeemmm, Bibi tadi nemu di pasar Bang. Sudah yukk,,, taruh dulu kucingnya, besok kita main lagi. Ayo lekas tidur, jangan sampai kesiangan besok Abang harus masuk ke kelas baru.” Bibi meminta Abdullah yang pikirannya mulai beralih untuk segera tidur.

Abdullah naik ke kelas empat sekolah dasar, dan besok adalah hari pertama di kelas barunya. Sejak sekolah di taman kanak-kanak, Abdullah selalu mendapatkan juara kelas dan tidak pernah mau duduk di barisan belakang. Ayah dan Ibu atau bibi tidak pernah memintanya untuk duduk di barisan paling depan dalam kelas. Abdullah hanya merasa, jika ia duduk paling depan selain ia bisa menerima pelajaran dengan baik, Abdullah juga akan mendapatkan perhatian paling dulu dari guru-gurunya.

Ojek jemputan Abdullah sudah sampai di depan rumah, Abdullah mencium tangan Pak Samin, tukang ojek yang setia mengantar dan menjemput Abdullah. Padahal Ayahnya sudah menyediakan Abdullah mobil sedan untuk menemani aktivitas anak tunggalnya. Namun, Abdullah bersikukuh tidak mau di antar dan di jemput dengan mobil, ia memilih berjalan kaki untuk menempuh perjalanan yang tidak terlalu jauh atau ia pergi dengan ojek andalannya. Karena bagi Abdullah, dengan begitu ia akan melihat, berbicara dan bergaul dengan banyak orang. Bagi anak seusianya, tidak ada motif lain, selain ia bisa bertemu dengan mendapat perhatian dan dari orang-orang disekitarnya.

“Assalamu’alaikum..!!!” Abdullah melangkah cepat dari depan gerbang rumahnya. Ia melihat mobil sedan hitam mewah yang hampir satu minggu tidak duduk di singgasananya. “Ayaaahhhh....Ibuuu...!!” Abdullah melesat cepat menuju ruang keluarga, tempat Ayah dan Ibu bercengkrama bersamanya. Nihil... harapan Abdullah pupus... “Abang sayang, jagoan Ayah dan Ibu, tadi Ayah pulang sebentar lalu pergi lagi, besok Ayah dan Ibu janji akan pulang dan berlibur bersama. Oia, oleh-oleh dari Ayah dan Ibu sudah Bibi taro di atas meja belajar yah” Bibi tak memperhatikan wajah Abdullah yang kecewa berat, Bibi masih fokus dengan pekerjaannya.

Abdullah memelas, seperti biasa kekecewaannya terlihat dari gestur punggungnya yang membukuk bak udang yang tersapu ombak. Abdullah mendekati Bibinya. “kenapa Cuma sebentar Bi? Ayah bilang apa?” “iyaaa sayang, Ayah pulang karena ternyata Laptopnya ketinggalan sejak sebelum pergi ke Balikpapan, dan semua kerjaan ayah ada di laptop itu.” Bibi berbicara menghadap bocah kecil yang matanya menerawang penuh kecewa sambil membantu sang bocah membuka pakian sekolahnya yang bau kenalpot dan terik matahari. “Kenapa mobilnya di tinggal?” Tanya Abdullah masih memelas. “Entah, Bibi ndak sempat tanya.” Jawab Bibi sambil melipat pakaian seragam Abdullah.

Hari kedua di kelas baru, Abdullah selalu antusias untuk belajar, bukan hanya karena guru-guru yang begitu baik dan menyayanginya, karena ia juga menemukan banyak teman yang baik dan mau berbagi dengannya. Ayo anak-anak...! kumpulkan pekerjaan rumahnya . Kemarin Abdullah dan kawan-kawan sekelasnya mendapatkan tugas membuat cerita tentang liburan kenaikan kelas bersama keluarga. Semua murid antusias dan ingin maju duluan untuk menceritakan rentetan agenda berlibur yang telah mereka lalui.

Namun, untuk tugas kali ini, Abdullah menciut, ia memilih berada di barian terakhir untuk menceritakan liburannya. “Baik...Abdullah sekarang giliran kamu Nak” Guru cantik berjilbab rapih memerintahkan Abdullah untuk maju dan membacakan karya tulisnya dan menyerahkan hasil tulisannya untuk di nilai. Abdullah kecil tidak berbicara sepatah kata pun, ia hanya menundukan kepala hingga dagunya menyentuh leher. Sang guru bingung, mengapa Abdullah yang terkenal ceria dan cerdas diam seribu bahasa.

Sang guru menghampiri Abdullah membungkukkan tubuhnya dan merangkul Abdullah. “Ayo jagoan, calon Arsitek silahkan di baca hasil tulisan mu Nak.” Sang guru berkata lembut dan penuh kasih sayang namun Abdullah tetap berdiri dengan posisi yang belum berubah. Semua teman-teman di kelasnya terdiam dan memperhatikan Abdullah. Sang guru coba membantu Abdullah dan meraih secarik kertas yang berisi karya tulis bertemakan liburan dengan keluarga.

Sayang, sang guru tak menemukan cerita menarik di dalam lembaran kertas putih berukuran A4. Karena Abdullah hanya menuliskan sebuah kalimat. “Aku tidak suka Laptop dan aku tidak ingin seperti Ayah.”



:: Redaksi PKS Pesanggrahan menerima tulisan/artikel/cerpen, dengan mencanyumkan nama dan foto (pribadi, keluarga, ilustrasi)



Share this Article on :

0 comments:

Posting Komentar

 

© Copyright PKS Pesanggrahan 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.