Oleh: Pramana Asmadiredja
Dibalik keberhasilan dan kesuksesan sejati seorang tokoh terdapat sebuah keluarga yang menopangnya. Hal ini pastinya sulit untuk dinafikan jika kita melihat kenyataan fitrahnya bahwa setiap individu mesti berkeluarga.
Keluarga yang dimiliki seseorang ibarat tiang penyangga bangunan keberhasilannya. Jika tiang tersebut runtuh, maka keberhasilan yang diperolehnya akan berangsur runtuh namun jika tiang itu mampu menopang selama mungkin, maka keberhasilannya itupun akan terus berlangsung.
Menyadari kenyataan itu, seseorang yang ingin memperoleh keberhasilan dan ingin berhasil memeliharanya, maka harus dapat membangun basis keluarga dengan sebaik-baiknya. Begitu pula dengan seorang dai yang tugas utamanya adalah melakukan amar makruf nahi munkar kepada seluruh manusia perlu membangun basis keluarga ini dengan sebaik mungkin.
Fokus dakwah yang kerap terbelah pada para pengemban dakwah yang tergolong dai sepuluh umat, seratus umat hingga dai sejuta umat adalah bahwa mereka sering lebih berhasil menyadarkan banyak orang tapi gagal dalam mendakwahi keluarganya sendiri.
Jika keadaan tersebut terus berlanjut maka dampaknya orang akan berangsur-angsur meninggalkan dakwahnya ketika mulai terkuak bahwa keluarga sang dai tersebut ternyata tidak mencerminkan dakwah yang dibawanya.
Ajaran Islam sebagai sebuah dienul fitrah memandang besar persoalan dakwah keluarga ini, sama besarnya dengan persoalan dakwah kepada yang lainnya. Bahkan ketika seruan kepada obyek dakwah yang lainnya masih menggunakan kata yang umum berupa ‘amar makruf nahi munkar’, maka seruan kepada dakwah keluarga langsung mengarah pada sasaran akhirnya yaitu ‘memelihara dari api neraka’ sebagaimana Allah SWT nyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS At Tahrim : 6)
Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat di atas menukil atsar: dari Sufyan At Tsauri ra yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib ra berkata bahwa pemeliharaan keluarga itu dilakukan dengan mendidik akhlak/adab dan pengetahuan keluarga.
Untuk memahami besarnya peran keluarga dalam dakwah maka kita bisa melihat ketika Rasulullah SAW pertama kali mendapat wahyu dari Allah SWT di Gua Hira beliau bergegas kembali ke rumahnya dan mengabarkan keadaanya kepada isteri beliau Khadijah ra.
Dalam sirah kita mengetahui Khadijah ra dapat membesarkan hati Rasulullah untuk mengemban dakwah ketika itu dengan perkataannya: “Bergembiralah dan tabahkanlah hatimu. Demi Dia yang memegang hidupku, aku berharap kiranya engkau akan menjadi nabi atas umat ini. Sama sekali Allah tidak akan mencemoohmu sebab engkaulah yang menyambung silaturahim, jujur, mau memikul beban orang lain, menghormati tamu, dan menolong mereka yang dalam kesulitan.”
Alquran secara variatif juga menjelaskan dinamika dakwah para rasul kepada keluarga mereka masing-masing dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hal ini setidaknya mengingatkan kepada kita bahwa (1) dakwah keluarga adalah satu prioritas di antara prioritas lainnya, dan (2) perlu upaya keras dan sungguh-sungguh melaksanakan dakwah keluarga karena peluang ketidakberhasilanpun terjadi di kalangan para suri tauladan dakwah itu sendiri (atas kehendak Allah SWT).
Satu urgensi dakwah keluarga yang tidak boleh juga dilupakan dalam dakwah adalah bahwa dakwah kepada keluarga adalah tahapan dakwah ke dua dari lima tahapan dakwah Ikhwan (pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan dunia).
Asholah dakwah atau abjadiyah dakwah mengharuskan kita menempuh tahapan dakwah keluarga sebelum menempuh tahapan-tahapan yang lain jika kita menginginkan dakwah tersebut mencapai keberhasilan. Wallahu’alam
:: Redaksi PKS Pesanggrahan menerima tulisan/artikel/cerpen, dengan mencanyumkan nama dan foto (pribadi, keluarga, ilustrasi)
BERITA TERBARU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 comments:
betul sekali ustadz, syukron atas sharingnya...
ana copas yah ustadz...
Posting Komentar